Burung Gereja (Passer domesticus) adalah salah satu jenis burung yang paling akrab dengan kehidupan manusia. Kehadirannya mudah ditemukan di pekarangan rumah, atap bangunan, pasar, bahkan di tengah keramaian kota. Meski kecil dan sering dianggap biasa, burung ini punya banyak keunikan yang menarik untuk dikenal lebih jauh.
Ciri Khas Burung Gereja
Ukuran Mini dan Warna Netral
Burung Gereja memiliki tubuh kecil dengan panjang sekitar 14–16 cm. Warna bulunya cenderung cokelat abu-abu dengan pola garis-garis gelap di bagian sayap. Jantan biasanya memiliki bercak hitam di dada dan leher, sedangkan betina dan burung muda berwarna lebih kusam. Paruhnya kecil namun kuat, cocok untuk memecah biji-bijian.
Suara Khas yang Ramai
Kicauan burung ini tidak semerdu burung kicau lomba, tetapi cukup nyaring dan ramai, terutama ketika mereka berkumpul dalam kelompok besar. Suara khas mereka berupa “cip-cip” pendek yang sering terdengar di pagi dan sore hari.
Habitat dan Kebiasaan Hidup
Hidup Dekat Manusia
Salah satu alasan burung gereja begitu umum ditemukan adalah karena mereka beradaptasi sangat baik dengan lingkungan manusia. Mereka membangun sarang di celah atap, dinding rumah, dan bahkan lampu jalan. Burung ini sangat aktif di pagi hari, dan sering terlihat mencari makan di tempat-tempat umum seperti warung, taman, atau area perumahan.
Pola Makan yang Fleksibel
Burung gereja adalah omnivora, meskipun lebih sering mengonsumsi biji-bijian dan sisa makanan manusia seperti nasi atau remah roti. Mereka juga memakan serangga kecil, terutama saat memberi makan anak-anaknya. Kemampuan beradaptasi dalam mencari makanan membuat mereka sangat tahan terhadap perubahan lingkungan.
Peran Ekologis dan Keberadaannya
Manfaat bagi Lingkungan
Meski sering diabaikan, burung gereja memiliki peran penting dalam ekosistem. Mereka membantu mengendalikan populasi serangga dan menyebarkan biji tanaman. Keberadaan mereka juga menjadi indikator kesehatan lingkungan di sekitar manusia.
Populasi yang Mulai Menurun
Ironisnya, meski umum, populasi burung gereja mulai menurun di beberapa kota besar akibat polusi udara, berkurangnya ruang hijau, dan penggunaan pestisida. Hal ini menjadi pengingat bahwa bahkan spesies yang tampak umum pun bisa terancam jika habitatnya terganggu.
